Bahasa Lampung dan Dukungan Pemerintah

Tulisan ini adalah tulisan saya di Kompasiana yang saya terbitkan tahun 2013 lalu. [ http://bahasa.kompasiana.com/2013/11/22/bahasa-lampung-dan-dukungan-pemerintah-610435.html ]


Kelappuk sabah juyu
Handak kidang mak mesak
Nyak demon jama niku
Kidang mak ku ucak-ucak

Sepenggal lirik diatas adalah lirik lagu Bahasa Lampung yang berjudul “Kelappuk Sabah Juyu”. Lagu ini sering dinyanyikan oleh anak-anak dizaman saya ketika masih SD kelas 1 (kalau tidak salah, mungkin lebih tua dari itu). Diartikel ini saya tidak memfokuskan pada arti tiap bait dilirik lagu tersebut, anggaplah itu pembukaan dari artikel ini .

Yang jelas, dewasa ini, sejak tahun 2000-an sampai sekarang, saya sudah tak menemui lagi anak-anak seumuran SD menyanyikan lagu tradisional itu, yang saya dengar malahan anak SD kelas 2 saja sudah nyanyi cinta-cintaan ala Cowboy Junior yang isinya “mungkin, inilah rasanya”, pikir saya, memangnya pernah merasa jatuh cinta diumur sekencur itu? Entahlah, orang bilang zaman ini zaman gila. Pada intinya, anak-anak zaman sekarang, terutama dikampungku sudah tak mengenal lagi lagu-lagu tradisional itu (belum lagi paermainan tradisional), bahkan untuk berbahasa Lampung-pun mereka terkadang ada rasa enggan untuk menuturkannya. Dikampungku di kaki Gunung Raja Basa, Lampung selatan, jumlah anak SD atau diatasnya yang bisa berbahasa Lampung secara fasih semakin sedikit. Fakta itu didukung oleh keengganan orang tua mereka yang mau mengajarkan anak-anaknya bahasa Lampung, katanya sih, bahasa Lampung itu mencirikan keterbelakangan, Naudzubillah.

Ambil contoh si A dan si B, pasangan suami istri di kampung saya, keduanya adalah penutur asli Bahasa Lampung, tinggal dikampung, dan dilingkungan berbahasa Lampung pula, lebih memilih anaknya berbahasa Indonesia daripada berbahasa Lampung. Saya tak mau komplain tentang suruhan berbahasa Indonesianya sih, tapi keengganan kedua ortu ini untuk mengajarkan Bahasa Lampung ini menjadi nilai minus, mereka tak mau mengajarkan bahasa daerah dan terus menerus “memaksa” anaknya berbahasa Indonesia ketika berkomunikasi dirumah. Padahal, dilingkungan sekitar tempat si anak bermain, sebagian besar adalah orang-orang penutur bahasa Lampung, tapi tetap saja anaknya tak diberi ruang untuk menyerap bahasa aslinya.

Contoh diatas adalah contoh kecil dari sekian banyaknya kasus akan kurangnya kebanggaan orang-orang didaerah saya terhadap bahasa aslinya (bahkan mungkin lebih parah diaerah lain). Menaruh cap “kuno” pada bahasa daerah adalah pikiran sesat dan salah kaprah yang mesti dihilangkan dimasyarakat. Saya saja yang mengambil jurusan Sastra Inggris dan mampu berbahasa Inggris (nyombong dikit J) masih mau berbahasa Lampung ketika dirumah dan dimanapun bila ada orang yang mau mengajak saya berbahasa Lampung, lha kok yang dikampung sendiri malah ada yang enggan?

Setali tiga uang dengan upaya pemerintah, di Lampung wujud nyata pelestarian Bahasa Lampung ibarat jalan ditempat kalau tak mau dibilang berjalan mundur. Diprovinsi ini saja, jurusan keguruan Bahasa Lampung sudah lama dihapus, entah alasannya apa saya kurang tahu, yang jelas sudah lama ditiadakan. Itu sudah jadi bukti kalau pemerintah “nyerah”. Sebagai konsekuensinya, pelajaran muatan lokal Bahasa Lampung diajarkan oleh orang-orang yang tahu bahasa daerah itu saja, walaupun itu bukan disiplin ilmunya. Dari ini saja pemerintah sudah kelihatan acuh tak acuhnya terhadap pelestarian Bahasa Lampung. Padahal, tak semua daerah dilampung memiliki penutur asli, atau katakanlah ia memang bukan penutur asli namun ia bisa berbahasa Lampung, itu jumlahnya sedikit, dan lagipula, bahasa bukan hanya mengerti cara mengucapkannya, namun juga mengerti artinya dan mengerti akan budayanya. Yang terjadi selama ini dilapangan, muatan lokal bahasa Lampung itu dilepas begitu saja tanpa ada standar yang jelas, akibatnya gurupun menjadi malas untuk mengajarkannya. Lebih parahnya lagi, muatan lokal bahasa Lampung hanya diajarkan sampai SMP kelas 2 saja, tak sampai SMA, dengan alokasi waktu seadanya, kalau sudah begini mau apa lagi?

Tak berhenti sampai disitu, ajang pemilihan putra daerah seperti Muli Mekhanai Lampung jarang (bila tak ingin dikatakan tak pernah) menuntut si kandidat untuk bisa berbahasa Lampung, istilahnya, walau tak fasih paling tidak bisa berbicara bahasa Lampung, nah, malah ini tidak sama sekali masuk kriteria penilaian. Kepada pemerintah daerah saya, tolong selamatkan bahasa daerah kita, jangan Cuma saya sendiri yang berjuang ditengah gempuran Vicky-Vicky zaman gila ini!

Lapah Kham Jama-jama ngelestakhikon adat Lampung.

Comments

Post a Comment

Popular Posts